Bicara soal demokratisasi, belakangan ini terjadi fenomena cukup menarik di kancah perpolitikan Nasional. Hadirnya situs-situs jejaring social yang digandrungi masyarakat berhasil mengungkapkan suara-suara yang selama ini tidak dikenal di masyarakat, yakni suara orang biasa, suara silent majority. Orang-orang yang memang bukan politikus tapi memiliki keprihatinan atas kondisi bangsa menyuarakan suara mereka lewat media sosial seperti Twitter dan memiliki kekuatan yang mulai cukup diperhitungkan.
Siapa itu Silent Majority? Mereka adalah orang yang selama ini tidak pernah bersuara di media konvensional. Media seperti surat kabar, majalah, radio, atau televisi tentunya melakukan pemilihan akan suara siapa yang hendak mereka gemakan. Mereka umumnya tertarik dengan tokoh-tokoh yang terkenal dan cenderung kontroversial karena mereka mencari perhatian masyarakat atas pemberitaan media mereka. Sedang anda dan saya, mungkin tunggu kita terkena musibah dahulu, baru media akan datang mewawancarai kita, meminta apa komentar kita.
Abad 21 adalah era Internet dan Internet sendiri sedang mengembangkan aplikasi web 2.0 yang memungkinkan partisipasi dari para penggunanya. Contohnya saja Twitter yang datang dalam sebuah tampilan sederhana sebagai sarana cuap-cuap dengan maksimal 140 huruf. Ini seakan kita memiliki media kita sendiri untuk berpendapat dan didengar oleh siapa saja yang mau mendengar kita berbicara. Banyak orang terkenal dengan mudahnya mengumpulkan banyak followers di Twitter, namun Twitter juga melahirkan bintang-bintang baru, yakni orang-orang yang selama ini tidak dikenal, tenggelam dalam kerumunan rakyat, untuk bersuara dan didengar. Fitur ReTweet memungkinkan efek bola salju dari setiap tweet yang kita buat, dimana isi tweet kita tidak hanya dibaca oleh follower kita tapi juga oleh follower dari follower kita dan seterusnya dan seterusnya hingga lapisan yang tidak terhingga. Now, you get your voice heard.
Pada saat yang sama bangsa kita sedang mengalami benyak kejadian yang menggambarkan permainan politik yang licik, yang tidak memikirkan rakyat banyak, namun memikirkan kepentingan mereka sendiri. Bukan lagu baru memang, tapi ini semua mulai terungkap belakangan seiiring dengan disadarkannya masyarakat bahwa media konvensional juga tidak netral. Mereka punya kepentingan dan keberpihakan terutama dengan kepentingan sang pemilik media. Di saat hal-hal seperti ini terjadi, maka media 2.0 seperti Twitter menjadi sarana baru mendapatkan informasi dan berdiskusi dan bersuara.
Sekarang mulai terkumpul orang-orang biasa, orang-orang yang tidak dikenal publik, orang-orang yang tidak pernah diliput oleh media konvensional. Mereka sekarang mulai terlihat pengaruhnya walau masih seperti awan setapak tangan, tapi semua adalah pertanda bahwa awan yang lebih besar akan datang, dan kemudian hujan lebat, perubahan akan terjadi. Orang-orang biasa inilah The Silent Majority. Mereka adalah mayoritas tapi selama ini mereka dipasung hak suaranya. Mereka adalah pemilik sah Republik demokratis ini, namun suara mereka dibungkam oleh kartel penguasa dan pengusaha. Selama ini mereka dianggap tidak penting, tapi akan tiba waktunya mereka akan merebut kembali negeri yang menjadi hak mereka.
Dari tweet saya, rekan blogger saya Mas Gembol terinspirasi membuat kaos dengan kutipan tweet saya yang menggambarkan gerakan Silent Majority orang-orang biasa ini. Kaos ini akan segera diproduksi dan anda akan bisa memesannya dengan Distro KDRI jika sudah selesai produksi. Saya tidak mendapat untung apa-apa dari kaos ini, namun saya sudah cukup senang karena dari sebuah tweet bisa hadir perubahan nyata atas bangsa ini. Bravo!
Follow me on twitter: @revolutia
Comments
Post a Comment