Nasihat Saya Untuk Fauzi Bowo


Putaran pertama pemilihan kepala DKI Jakarta telah usai dengan hasil yang sudah kita ketahui bersama. Calon incumbent, Fauzi Bowo (Foke), hanya berhasil mengumpulkan suara terbanyak kedua setelah rising star Joko Widodo (Jokowi) yang mendapatkan lebih dari 40 persen suara pemilih. Untuk putaran kedua, banyak pengamat yang meramalkan akan dimenangkan secara mudah oleh Jokowi. Selain kenyataan bahwa ada lebih dari 60% pemilih yang tidak memilih Foke pada putaran pertama, ditambah lagi move-move yang dilakukan Foke bersama pasangannya Nara seusai pilkada adalah gol bunuh diri ke gawang mereka sendiri. Dengan kata lain, pasangan Foke-Nara telah kehilangan sensitivitas terhadap kegelisahan masyarakat, bukan mengambil langkah simpatik, malah menjadi semakin tidak simpatik.

Hal itu terlihat dengan tim kampanye Foke-Nara yang melaporkan tim kampanye Jokowi-Ahok ke panwaslu atas dugaan politik uang. Mungkin mereka menyangka tindakan itu akan menghancurkan reputasi Jokowi-Ahok, tapi salah besar. Dengan enteng tim kampanye Jokowi-Ahok merespon dengan "rakyat tahu koq siapa yang politik uang" dan akibatnya tindakan itu justru membuat dukungan terhadap Jokowi-Ahok semakin kuat dan seperti bumerang hal tersebut berbalik kepada yang melempar.

Mengapa Jokowi-Ahok berhasil mendapat simpati masyarakat? Jawaban atas pertanyaan tersebut ialah karena mereka berhasil dilihat warga Jakarta sebagai figur yang layak jadi pemimpin. Jika ada kata sifat yang menggambarkan Jokowi, maka kata tersebut ialah "humble". Hal ini tercermin selama menjadi walikota Solo, Jokowi tidak petantang-petenteng layaknya pejabat, dirinya sanggup berbaur dengan rakyat, menunjukan bahwa jabatan adalah amanah bukan kekuasaan. Hal ini ditunjukkan juga oleh sikap Jokowi although he's the winner dengan berusaha bersilahturahmi dengan kandidat-kandidat yang kalah suara, termasuk dengan Foke.

Di sisi lain, jika ada kata sifat yang menggambarkan Foke, maka kata tersebut adalah "arrogant". Hal ini tercermin dengan sikapnya tidak mau mengakui kesalahan dan selalu berlindung di balik alasan. Ungkapan "itu bukan banjir, hanya genangan air" sangat membekas di memori warga Jakarta. Ketika Jokowi mencoba menghubungi ponsel Foke pasca pilkada selesai, Foke tidak menjawab telepon tersebut. Ketika ditanya wartawan mengenai hal ini, Foke dengan ringan menjawab, "mungkin dia salah sambung, mungkin Jokowi menelpon pemadam kebakaran." Another wrong move! Kandidat wakil Jokowi pun cepat menimpali dengan berkelakar, "artinya Foke mengakui kalau pemadam kebakaran di Jakarta sulit dihubungi."

Kalau Foke-Nara terus menerus bermain seperti ini, dengan menunjukkan ke-arogansi-an, maka putaran kedua pilkada DKI akan jelas dimenangkan secara telak oleh Jokowi-Ahok oleh karena mereka berdua terus menerus melakukan tindakan simpatik sedang Foke-Nara terus menerus melakukan blunder dalam komunikasi publik mereka.

Pasangan Foke-Nara mungkin selama ini menyangka pencitraan itu hanya masalah iklan, tagline, dan exposure. Satu hal yang mereka lupa ialah kalau pencitraan itu dibentuk oleh gesture-gesture yang simpatik, yang membuat masyarakat merasa klop dengan figur-figur yang berminat menjadi pemimpin di era demokrasi. Komunikasi harus berjalan secara singkron dan reputasi yang rusak harus dibetulkan dengan melakukan the opposite of the perception. Contohnya ketika di awal pencalonan, pemberitaan sebuah majalah menyebutkan bahwa kampanye Jokowi-Ahok akan didanai oleh Prabowo Subianto, tim sukses Jokowi-Ahok merespon bukan dengan konfrensi pers, namun dengan menjual baju kotak-kotak untuk pengumpulan dana kampanye swadaya dari masyarakat. Smart move kalau saja tim sukses Foke-Nara juga mau belajar dan meninggalkan strategi kampanye lama yang sudah ketinggalan zaman.

Kalau saya boleh kasih masukan untuk tim sukses kampanye Foke-Nara supaya memiliki peluang untuk mengalahkan Jokowi-Ahok di putaran kedua pilkada DKI, berikut nasihat saya:
  1. Persepsi masyarakat yang paling kuat terhadap Foke selama ini adalah arogansi-nya. Beliau menjadi gubernur DKI dengan kampanye "serahkan pada ahlinya" dan 5 tahun berlalu tanpa ada solusi atas masalah utama Jakarta seperti macet, banjir, dan kriminalitas. Foke selama ini menolak mengakui kalau dia tidak berhasil, malah membuat seribu alasan. Hal ini tidak menimbulkan simpati masyarakat, yang ada malah dia akan semakin dicap sebagai pemimpin pembohong.
  2. To go to the opposite direction, saya menyarakan tim sukses Foke-Nara mengangkat tema besar pengakuan Foke kalau "Ternyata saya salah, sekarang saya mau belajar dan perbaiki diri" yang didahului dengan pengakuan kegagalannya selama ini jadi pemimpin dan bahwa dia ingin belajar dari Jokowi sebagai sosok pejabat yang sukses.
  3. Foke dengan gesture anggun mendatangi semua kandidat di putaran pertama untuk "duduk, dengar, dan belajar". Selama pertemuan dia tidak boleh membantah, hanya duduk, dengar, mencatat, dan belajar. Termasuk satu sesi khusus untuk belajar dari Jokowi sebagai pejabat yang berhasil.
  4. Pada putaran kampanye yang kedua, Foke menayangkan iklan televisi yang menyebutkan "Jokowi sebagai walikota terbaik di dunia, disayang masyarakat Solo, dibutuhkan oleh mereka. Ayo, berikan Jokowi kesempatan menuntaskan pengabdiannya kepada masyarakat Solo, saya di Jakarta siap belajar dari beliau, meniru semua success cases beliau. Saya, Fauzi Bowo, siap menebus kesalahan dan mengabdi pada rakyat Jakarta"
  5. Foke-Nara harus menghentikan semua negative campaign terhadap pasangan Jokowi-Ahok, menyerukan pendukungnya untuk menghormati mereka dan belajar dari mereka.
  6. Terhadap isu SARA yang menyerang pasangan Jokowi-Ahok, pasangan Foke-Nara harus menjadi yang terdepan membela mereka. Bukan malah diam, karena hal ini akan dipersepsikan kalau mereka senang isu tersebut beredar di publik.
Cobalah dilakukan dan nanti pertarungan menjadi DKI 1 dan DKI 2 menjadi lebih seru dari sekarang. Kalaupun Foke kalah juga, minimal citra dia mulai sedikit pulih di mata publik.

Tulisan terkait:

Enter your email address:

Comments