Revolusi Mental Pendidikan Indonesia


Dulu saya pernah menjadi guru SMA kelas 3 (sekarang 12) mempersiapkan para siswa untuk the so called Ujian Nasional. Suatu hari saya terlibat percakapan dengan salah satu siswa saya yang tidak akan pernah saya lupakan.

Saya: "Nilai kamu masih kecil, kamu harus belajar keras untuk bisa lulus."

Siswa: "Buat apa belajar Pak kalau tidak lulus?"

Bertahun-tahun sudah lewat dan saya masih belum bisa move on dari ucapan siswa tersebut. Saya sadar bahwa itu juga merupakan pandangan dari banyak siswa di negeri ini. Kalau sekolah itu untuk mengejar kelulusan. Kelulusan hanya bisa dicapai dengan nilai. Oleh karena itu, yang penting ialah dapat nilai besar, bagaimanapun caranya.

Siswa tersebut ternyata memang lulus dan dapat nilai tertinggi di sekolah pas Ujian Nasional, padahal biasanya dia dapat nilai terendah di kelas. Bagaimana caranya? Ya tentunya dengan cara dia sendiri dan bukan dengan belajar pastinya.

Mungkin banyak yang belum sadar kalau inilah masalah utama pendidikan di Indonesia, yakni sekolah bukan untuk belajar, tapi sekolah untuk lulus tes. Apakah siswanya benar paham atau tidak, tidaklah penting. Yang paling penting ialah nilainya bagus, walaupun didapat dengan cara-cara yang tidak mengedepankan integritas.

Itu sebabnya saya tidak begitu antusias ketika Mendikbud baru kita, Anies Baswedan, memutuskan untuk menghapus Kurikulum 2013. Penyakit utama ialah Ujian Nasional, karena selama masih ada Ujian Nasional, apapun kurikulumnya, para siswa masih akan sekolah untuk lulus, bukan untuk belajar.

Kalau pendidikan kita mengedepankan belajar, maka yang dilatih ialah cara belajar, bukan materi pelajaran. Zaman sekarang materi pelajaran ada di mana saja. Saya sering berguyon kalau kuliah di Harvard pun, ujung-ujungnya tetap akan disuruh untuk buka Google. Semua kembali ke niat masing-masing kita, apakah mau dan suka belajar, atau memilih untuk bodoh karena yang penting ialah lulus ujian.

Suatu ketika saya berbincang dengan teman saya yang sedang mengambil S2 Manajemen. Dia bilang kalau dia punya kesulitan di mata kuliah Finance karena melibatkan hitung-hitungan yang rumit. Lalu saya bertanya kenapa dia tidak pakai financial calculator saja? Tidak perlu hafalkan rumus-rumus menjelimet, tinggal masukan data-data yang ada, lalu angka yang kita cari akan segera keluar. Katanya dosennya tidak pernah memberitahu kalau ada yang namanya financial calculator. Saya jelaskan kalau aplikasi finacial calculator ada banyak tersedia di App Store atau Play Store dan tinggal unduh saja. Lebih lanjut, teman saya mengatakan kalau pada saat ujian, tidak boleh menggunakan alat bantu.

Saya terkejut mendengar hal tersebut. Zaman sekarang, di lapangan, siapa yang masih menghitung pakai kertas? Semua sudah gunakan alat bantu. Para pelaku finance sudah akrab dengan namanya financial calculator karena mereka tidak mungkin habiskan waktu lama menghitung manual sedangkan sudah ada teknologi yang membuat semuanya praktis. Menurut saya, dosen teman saya tersebut mengajarkan ajaran sesat, sesuatu yang tidak realistis. Tidak heran kalau banyak lulusan sarjana kita tidak siap kerja, karena yang diajarkan bukan hal-hal praktis lapangan.

Kalau saya yang jadi dosen/guru, saya tidak akan takut dengan open book test. Karena ketika siswa/mahasiswa mencari jawaban dari buku atau menggunakan teknologi, itu pun sebuah proses belajar. Yang paling penting ialah mereka mencari jawabannya secara mandiri tanpa dibantu oleh orang lain. Dalam kehidupan nyata, situasi yang dihadapi bukanlah seperti tes sekolah kebanyakan, namun bagaimana dia bisa menggunakan alat bantu yang ada, terutama teknologi, untuk menemukan solusi yang dia cari.

Karena para siswa kita tidak dilatih untuk gunakan teknologi buat belajar, akhirnya mereka hanya tahu kalau teknologi itu untuk main game, bukan buat belajar.

Ambil contoh guru Bahasa Mandarin di kursus yang saya ikuti. Dia mengatakan bahwa tidak perlu buat kami, siswanya, untuk belajar menulis karakter Mandarin. Kenapa? Karena zaman sekarang, siapa yang masih tulis tangan? Hampir semua hal terkait tulis menulis kita selesaikan dengan bantuan komputer dan gadget. Jadi dia mengharuskan kami belajar bagaimana menggunakan komputer dan gadget untuk menulis Mandarin. Itu adalah hal realistis dan langsung praktek. Pada saat ujian pun, dia meminta kami untuk bebas membuka buku dan menggunakan gadget. Kenapa? Karena ketika kami bertemu situasi riil di lapangan yang membutuhkan Bahasa Mandarin, tentunya gadget dan internet menjadi referensi utama kita.

Mindset pendidik kita perlu diubah sepenuhnya. Masalah utama dengan ujian kita ialah pertanyaan tes bukanlah pertanyaan yang tepat. Kalau pertanyaan yang diajukan tepat, maka para siswa membutuhkan proses berpikir dalam mencari jawaban, ga bisa asal copas dari buku pelajaran. Justru karena pertanyaan ujian tidak melatih proses berpikir siswa, akhirnya ujian tidak boleh buka buku, karena akan langsung ketahuan jawabannya. Ujung-ujungnya ialah mencontek.

Contoh klasik ialah pada pelajaran Sejarah. Yang diajarkan sifatnya hafalan dan ujiannya pun hafalan tempat dan tanggal-tanggal aneh. Padahal kelas Sejarah harusnya menjadi sebuah kelas diskusi, karena semua materi sejarah itu bisa diperdebatkan. Pertanyaan ujian harusnya bukan "Tanggal berapa Diponegoro lahir?" karena siapa yang peduli akan hal tersebut? Bermanfaatkah? Pertanyaan yang lebih baik misalnya ialah "Apakah menurutmu Diponegoro layak diangkat jadi pahlawan kemerdekaan? Mengapa?"

Revolusi mental pendidikan Indonesia haruslah bertumpu pada sekolah untuk belajar dan bukan untuk lulus tes. Karena itu soal tes pun harus dibuat sedemikian rupa sehingga menjadi proses belajar tersendiri buat siswa karena mereka harus gunakan nalar untuk menjawab pertanyaan. Kenyataan di lapangan, nalar lebih dibutuhkan ketimbang tahu. Mengerti jauh lebih baik dari hafal.

Bacaan terkait:

Sumber gambar: tautan

Enter your email address below:

Comments