Rahasia Kemenangan Donald Trump


Hampir tidak ada yang menyangka Donald Trump akan memenangkan pemilihan presiden Amerika Serikat tahun ini. Para lembaga yang membuat survei politik pun tidak percaya karena pada H-1 pemilu mereka meramalkan Hillary Clinton punya peluang menang 90%. Para petinggi-petinggi partai Republik yang mendukung Trump pun tidak percaya terlebih setelah 2 skandal yang mendapat sorotan nasional: Trump beradu mulut dengan orang tua prajurit Muslim AS yang tewas medan perang serta skandal rekaman pembicaraan jorok Trump yang direkam acara Access Hollywood 11 tahun lalu. Menurut analisa politik yang wajar, Trump sudah pasti kalah. Apalagi lawannya, Hillary Clinton punya segalanya. Hanya di dunia alternatif, Trump diprediksi menang seperti kartun The Simpsons, nubuatan seorang pendeta Kristen dari India, perhitungan seorang profesor yang sudah akurat meramal presiden selama 30 tahun, sistem AI bernama MogIA, hingga monyet di Tiongkok dan ikan di India. Saya akan fokus membahas faktor kunci yang menjadi penentu kemenangan Trump di menit-menit terakhir.


Hillary Clinton tercatat punya dana kampanye $687juta dan Trump hanya punya $250juta hingga masa akhir kampanye. Dengan kata lain Trump hanya punya dana kampanye sepertiga dari dana kampanye Clinton. Mitt Romney, kandidat Republik di tahun 2012 melawan Barack Obama, berhasil mengumpulkan dana kampanye $992juta. Pada pemilu kali ini, banyak donatur partai Republik menolak menyumbang untuk Donald Trump, dan bahkan beberapa menyumbang untuk Hillary Clinton. Hillary juga didukung penuh oleh para elit-elit partai Demokrat: Barack dan Michelle Obama, Wapres Joe Biden, Bernie Sanders, Al Gore, dan tentu saja Bill Clinton semua menghabiskan waktu mereka berkampanye untuk Hillary. Ditambah dukungan dari para selebritis yang ikut berkampanye mendukung Hillary dari Lady Gaga, Katy Perry, Beyonce, Jay Z, J-Lo, Stevie Wonder, Miley Cyrus, Bruce Springsteen, hingga Jon Bon Jovi. Sementara kampanye Trump hanya menampilkan Trump dan cawapresnya Mike Pence. Tidak ada selebritis papan atas. Bahkan tidak ada penampakan elit-elit partai Republik. Ketua DPR Amerika dari partai Republik, Paul Ryan (yang juga cawapres Romney di 2012) menolak berkampanye mendukung Trump demikian juga Ketua Senat Mitch McConnell. Demikian juga George HW Bush dan anaknya yang juga presiden George W Bush. Demikian juga mantan capres John McCain dan Mitt Romney. Mereka berdua bahkan terang-terangan menyerang Trump di media. Secara hitungan kertas, tidak mungkin Trump menang.

Harus diingat kalau sistem pemilihan presiden di AS tidak dilakukan secara langsung seperti di Indonesia namun secara berjenjang. Para capres mengumpulkan elektor dari tiap-tiap negara bagian dan barang siapa mencapai lebih dari 270 elektor akan memenangkan pilpres. Perebutan elektor di 48 negara bagian (dari total 50) menggunakan sistem Winner-Take-All bukan pembagian persentase, artinya pemenang suatu negara bagian akan mendapatkan semua elektor dari negara bagian tersebut. Jumlah elektor yang disediakan tiap negara bagian berbeda tergantung dari kepadatan penduduk. Alaska hanya memberikan 3 elektor sedangkan California memberikan 55 elektor. Semua faktor ini memungkinkan capres dengan suara pemilih terbanyak belum tentu menang jadi presiden. Jumlah suara Clinton dan Trump tidak terlampau jauh, namun Trump akan menang dengan 306 elektor melawan Clinton yang hanya mendapatkan 232 elektor. Sistem demokrasi seperti ini sudah berlangsung sejak awal Amerika Serikat berdiri. Itu sebabnya para capres biasanya tidak berkampanye di semua negara bagian, namun fokus pada Swing States atau negara bagian yang banyak populasi pemilih independen (non-Republik, non-Demokrat) untuk merayu mereka memilih.

Kenapa Trump menang tahun ini? Secara mengejutkan 3 negara bagian yang biasa memilih capres Demokrat kali ini memenangkan Trump:
  • Michigan memilih Clinton (92), Clinton (96), Gore (00), Kerry (04), Obama (08), Obama (12) kali ini memilih Trump (16).
  • Pennsylvania memilih Clinton (92), Clinton (96), Gore (00), Kerry (04), Obama (08), Obama (12) kali ini memilih Trump (16).
  • Wisconsin memilih Clinton (92), Clinton (96), Gore (00), Kerry (04), Obama (08), Obama (12) kali ini memilih Trump (16).
Michigan memberikan 16 elektor. Pennsylvania 20 elektor. Wisconsin 10 elektor. Bila dijumlahkan totalnya 46 elektor. Cukup untuk membuat perbedaan signifikan.

Jika Clinton memenangkan 3 negara bagian tersebut, maka dia akan menang dengan total elektor sebanyak 278 (lewat dari syarat menang 270 elektor) dan Trump harus menelan kekalahan dengan hanya 260 elektor. Di 3 tempat itu Trump menang tipis namun mampu membalikkan yang seharusnya kemenangan Clinton menjadi kemenangan dia. Banyak pengamat politik yang mencemooh saat Trump pada minggu terakhir masa kampanye malah berkampanye ke negara-negara bagian tersebut yang dianggap sebagai wilayah Demokrat. Mereka pada bilang Trump sudah frustasi karena akan kalah, jadi ya sudah nekat saja sekalian masuk ke teritori lawan. Banyak yang tidak mengerti kecuali Michael Moore. Pembuat film dokumenter kenamaan tersebut sudah memprediksi di bulan Juli kalau Trump akan menang pilpres dengan menang di Michigan, Pennsylvania, Wisconsin, dan Ohio. Baca tulisan dia di sini.


Kemenangan mengejutkan Donald Trump di Michigan, Pennsylvania, Wisconsin, Ohio (swing state yang sebelumnya memilih Obama 2x), serta Indiana merupakan dari apa yang disebut sebagai Rust Belt States, atau deretan negara bagian yang sebelumnya merupakan pusat industri di Amerika. Sekarang disebut 'rust' atau 'berkarat' karena keadaan ekonomi di tempat-tempat tersebut memburuk. Dahulu kala julukan tempat-tempat tersebut adalah Manufacturing Belt atau Factory Belt dimana pabrik-pabrik besar Amerika berada terutama industri besi, baja dan pertambangan batu bara. Namun sekarang pemandangan di sana adalah pabrik-pabrik tua yang sudah tutup sehingga akhirnya disebut 'rusty' atau 'berkarat'. Kota Detroit di Michigan misalnya yang dahulu kala adalah pusat industri otomotif di Amerika dan markas besar dari General Motors, Ford, and Chrysler telah menjadi kota bangkrut pada tahun 2013. Hal ini tentunya membuat frustasi populasi buruh kulit putih di sana. 15 tahun terakhir, sebanyak 60.000 pabrik tutup dan 4,8 juta pekerjaan telah lenyap.

Apa yang menyebabkan pabrik-pabrik besar pada tutup? Selain faktor perkembangan teknologi yang membuat industri makin efisien, juga ada perpindahan pabrik besar-besaran ke Selatan AS yang disebut Sun Belt dan juga ke luar negeri. Mengapa pindah ke Sun Belt? Karena para pengusaha bisa mendapatkan cheap labor (buruh murah) sehubungan dengan banyaknya migrasi para latino dan latina ke Amerika. Ketika Donald Trump memulai kampanye dengan mengatakan akan membangun tembok di perbatasan Meksiko, para lawannya menuduh Trump sebagai rasis. Sedang para buruh di Rust Belt akhirnya menemukan jagoan mereka dalam diri Trump yang berani bersuara lantang untuk menjaga perbatasan dari orang-orang yang akan mencuri pekerjaan mereka. Trump juga lantang mengkritik NAFTA (North America Free Trade Deal) yang disahkan Bill Clinton yang menyebabkan pabrik-pabrik pindah ke Meksiko. Trump juga menentang TPP (Trans Pacific Partnership) yang digagas Obama sebagai perjanjian perdagangan bebas dengan negara-negara Asia. Isu yang diangkat Trump adalah soal ekonomi dan pekerjaan, bukan soal rasisme. Dia mengkritik pemerintah yang tidak bisa melindungi average Americans karena telah dibeli dan dikuasi oleh kalangan pemilik modal. Bagi para buruh dan petambang kulit putih usia lanjut yang tamatan SMA dan tidak tinggal di kota besar, Donald Trump adalah pahlawan mereka dan janjinya "Make America Great Again" bicara mengenai mengembalikan pekerjaan ke tempat mereka.

Selama ini isu ekonomi kelas pekerja adalah topik favorit partai Demokrat, bukan Republik. Selama ini para politisi Republik adalah pendukung setia neoliberalisme dan perdagangan bebas. Namun Trump bukan politisi dan tidak berlaku dan berkata seperti layaknya politisi. Hal itu malah menjadi daya tarik tersendiri bagi orang-orang yang sudah lelah berharap pada politisi yang gemar mengatakan hal-hal manis di telinga namun bertindak kebalikannya. Dan Hillary Clinton adalah perwakilan sempurna dari kelas politisi tersebut karena pernah menjadi first lady, senator, dan juga menteri dengan jaringan donatur para bankir Wall Street yang setia mendukungnya. Hillary punya reputasi akan mengatakan apa saja asal terpilih. Dalam hal TPP misalnya, Hillary awalnya memuji TPP sebagai gold standard. Ketika diberitahu oleh lembaga survei kalau serikat buruh menolak TPP, Hillary segera mengganti posisinya menjadi anti TPP. Hillary juga tidak menunjukan ada niat untuk mencabut NAFTA yang disahkan oleh suaminya sendiri sewaktu menjabat presiden. Hillary juga mengambil posisi gamang terhadap industri batu bara karena kalau dia mendukung batu bara, Hillary akan kehilangan pemilih yang concern terhadap isu lingkungan. Beda dengan Donald Trump yang lantang mendukung batu bara dan segala jenis pertambangan lainnya dan tidak peduli dengan isu global warming. Selain itu Hillary juga adalah teman dekat para bankir Wall Street yang juga donatur utama kampanyenya. Dia sering diundang untuk memberikan pidato dengan bayaran fantastis. Dari bocoran pidato yang diungkap Wikileaks, jelas bahwa di depan para bankir Hillary menyatakan posisi pro-globalisasi sedang ketika bertemu serikat buruh dia menyatakan anti-globalisasi. Itulah yang menyebabkan para buruh kulit putih sulit mempercayai seorang Hillary Clinton.


Globalisasi dan perdagangan bebas menjadi isu penting karena hal tersebut memberikan kemudahan untuk pengusaha membuka usaha di negara lain, namun bisa berdampak negatif bagi kelas pekerja kerah biru negara maju yang kini harus bersaing dengan buruh dari negara lain. Apabila para pengusaha Amerika bisa melakukan produksi di Tiongkok atau di India dengan ongkos produksi yang lebih murah dan menjualnya kembali ke Amerika dengan harga yang sama, mengapa mereka harus mempertahankan pabrik mereka di Amerika? Tren anti-globalisasi terlihat dengan hasil referendum Brexit yang mengejutkan semua pihak dimana Inggris menolak didikte oleh Uni Eropa dan memilih untuk keluar. Tren yang sama yang membawa Trump naik di Amerika dan sulit dibendung oleh seorang globalist seperti Hillary Clinton.

Sentimen yang dibawa Trump sebenarnya bukan barang baru. Pada tahun 1992, seorang bilyoner-non-politisi lain seperti Trump bernama Ross Perot mencapreskan diri lewat jalur independen dan sempat memimpin survei di angka 39% namun kemudian memudar karena dia tiba-tiba mengasingkan diri dan menghilang selama beberapa bulan sebelum kembali lagi pada bulan pemilihan dan telah terlambat untuk kembali memimpin dan hanya meraih 18.9%. Perot membangun kampanyenya dengan oposisi terhadap NAFTA berikut yang dia sampaikan pada saat debat presiden: "We have got to stop sending jobs overseas. It's pretty simple: If you're paying $12, $13, $14 an hour for factory workers and you can move your factory South of the border, pay a dollar an hour for labor,...have no health care—that's the most expensive single element in making a car— have no environmental controls, no pollution controls and no retirement, and you don't care about anything but making money, there will be a giant sucking sound going south." Ross Perot kemudian mendirikan Reform Party dan coba tebak, Donald Trump pernah menjadi anggotanya dan tahun 2000 sempat mencalonkan diri menjadi calon presiden dari Reform Party walau hanya sebentar dan tidak dilanjutkan. Baca: Why Hillary Clinton Should Be Worried About Ross Perot.

Banyak yang percaya Trump belum tentu menang jika partai Demokrat memajukan Bernie Sanders, ketimbang Hillary. Bernie, seorang sosialis, mendasarkan kampanyenya pada sentimen anti-globalisasi, anti-perdagangan bebas, dan juga anti-konglomerasi. Dia berhasil mendapat dukungan suara signifikan dari serikat buruh di Rust Belt States pada saat primary. Setelah kemenangan Trump, Bernie menulis, "Donald Trump tapped into the anger of a declining middle class that is sick and tired of establishment economics, establishment politics and the establishment media.  People are tired of working longer hours for lower wages, of seeing decent paying jobs go to China and other low-wage countries, of billionaires not paying any federal income taxes and of not being able to afford a college education for their kids - all while the very rich become much richer." Sayang langkah Bernie dihentikan oleh kecurangan sistematis yang dilakukan partai Demokrat untuk memenangkan Hillary Clinton.

Hillary Clinton sendiri membangun kampanyenya dengan mengandalkan dukungan dari kalangan wanita dan semua minoritas: African Americans, Hispanics, Asian Americans, Muslim, LGBTQ, dan lain-lainnya. Dengan mencitrakan Trump sebagai pria bengal, sexist, rasis, dan penuh kebencian, Hillary berusaha mencitrakan dirinya sebagai sosok yang membela wanita dan minoritas lewat pesan kampanye "Stronger Together". Hillary bersikap terbuka terhadap imigran yang datang ke Amerika dengan cara ilegal dan menawarkan kewarganegaraan ke mereka untuk mendapatkan suara latino dan latina. Hillary juga memanfaatkan kepopuleran Obama untuk mendapatkan dukungan suara kulit hitam. Hillary sengaja memainkan kartu SARA untuk menopang popularitasnya selama masa kampanye dan untuk menutupi juga banyak skandal yang menyebabkan Hillary tidak disukai banyak pemilih. Hal ini sangat penting karena level antusiasme dari demografis yang hendak diraih Hillary tidak tinggi. Banyak pemilih yang ditarget oleh kampanye Clinton yang tidak ke bilik suara karena propaganda #NeverTrump tidak cukup buat mereka pergi 'nyoblos'. Di sisi lain, bagi para pemilih di Rust Belt States, Trump mungkin rasis, mata keranjang, dan seterusnya, tapi tentunya urusan perut lebih penting. Mereka harus merawat keluarga mereka dan untuk itu punya pekerjaan adalah wajib hukumnya. Selama ini mereka memilih presiden dari Demokrat, perubahan apa yang mereka dapatkan? Tidak ada. Jelas wajar mereka kecewa.


Isu yang juga menjadi sorotan tajam dan penentu di detik-detik terakhir adalah Obamacare terutama dengan adanya berita premi yang akan naik 22% tahun depan. Hillary Clinton sudah berkomitmen untuk mempertahankan Obamacare sedang Donald Trump ingin menghapusnya. Obamacare didesain oleh para konglomerat asuransi dan farmasi untuk menguntungkan mereka, dan tentunya ketika premi makin tahun makin mahal, hal ini membuat banyak orang marah. Kalau mereka tidak punya asuransi kesehatan, maka lewat UU Obamacare, mereka akan didenda. Jika mereka membeli asuransi kesehatan, preminya makin tahun makin naik dan mencekik. Banyak pemilih Obama yang akhirnya memutuskan tidak memilih Clinton karena faktor Obamacare ini.



Memilih Trump tentunya sebuah perjudian karena belum tentu Trump akan menepati janji-janjinya. Namun para pemilih sudah bisa membayangkan bagaimana kalau Clinton menjadi presiden, yakni kurang lebih sama dengan era Clinton (Bill) dan era Obama. Sedang mereka berharap adanya perubahan. Dulu Obama menjanjikan perubahan, namun setelah 8 tahun menjabat, kondisi mereka tetap sama saja. Sementara Trump adalah political outsider. Tidak ada yang tahu bagaimana nanti jadinya dia ketika menjabat presiden, bisa makin baik, bisa juga makin buruk. Namun orang frustasi yang punya "nothing to lose" akan mencoba alternatif baru ketimbang yang sudah familiar dan terbaca. Seperti yang disebut Michael Moore sebagai The Jesse Ventura Effect: "Millions are going to vote for Trump not because they agree with him, not because they like his bigotry or ego, but just because they can." Jangan kaget juga kalau Jesse Ventura dulu anggota Reform Party.

Ketika Bill Clinton secara mengejutkan mengalahkan presiden pertahana George HW Bush tahun 1992, dia menjelaskan, "It's the economy, stupid." Hal yang sama juga dapat dikatakan Donald Trump kali ini kepada Hillary Clinton tentang penyebab kekalahannya: "It's the economy, stupid."

Bacaan terkait:


Enter your email address below:

Comments

Unknown said…
Hakikatnya voter cuma mau kenyang. Mapan dan aman dalam finansial. Kampanye model gini patut ditiru oleh calon kepala daerah.