Banyak Rezeki, Banyak Anak?


Ada pepatah Jawa kalau banyak anak, maka banyak rezeki. Hal ini berdasarkan asumsi dengan banyaknya anak, maka harta keluarga akan bertambah seiring dengan semakin banyak yang bekerja atau berusaha. Hal ini benar jikalau kita hidup sebelum era industri dan urbanisasi. Pada zaman dahulu, pekerjaan banyak orang ialah bercocok tanam dan berdagang.  Dalam konteks ini, memang benar, semakin banyak anak, maka semakin banyak rezeki, karena biaya membesarkan sedikit anak atau banyak anak tidaklah banyak berbeda. Namun dalam konteks urban, semakin banyak anak, maka semakin banyak beban yang harus ditanggung. Di perkotaan, sumber penghasilan utama ialah dari sektor jasa dan kerja otak dimana untuk mendapat penghasilan yang besar, dibutuhkan ilmu yang lebih banyak, dan menuntut ilmu tidaklah murah. Di kebanyakan kasus, orang tua menanggung biaya yang besar untuk mendidik anaknya lalu ketika selesai anaknya hanya mampu menghidupi dirinya sendiri atau keluarga barunya, dan hanya menyisakan sedikit untuk orang tua. Itulah sebabnya mengapa sekarang pemikiran "banyak anak, banyak rezeki" tidak lagi dianut terutama oleh mereka yang tinggal di perkotaan.

Lalu kemudian di lingkungan perkotaan, timbul lagi pepatah baru kalau banyak rezeki, maka boleh punya banyak anak. Dengan kata lain, kalau memang mampu membesarkan banyak anak, mengapa tidak dilakukan, karena bukankah harta kita untuk anak kita juga. Ada banyak alasan untuk mengikuti mahzab pemikiran ini, mulai dari alasan religius untuk monolak kontrasepsi, alasan politik untuk mempengaruhi arus politik, hingga alasan sosial. Tendensi seperti ini bukan hanya terjadi di Indonesia, namun juga di banyak negara di dunia yang sedang berkembang atau maju. Secara sekilas, bukankah jumlah anak merupakan hak asazi setiap keluarga? Bukankah selama anaknya tidak ditelantarkan, sah-sah saja punya banyak anak? Well, kalau berpikiran sempit, kita hanya akan berpikir sampai kesitu, tanpa berpikir konsekuensi dari tindakan kita.

Perlu diingat banyak pertumbuhan populasi dunia yang begitu cepat setiap tahunnya. Pada zaman sebelum Perang Dunia II, pertumbuhan populasi manusia seringkali tertahan oleh wabah penyakit, perang, dan bencana alam. Kini setelah Perang Dunia II usai, generasi sesudahnya seringkali disebut sebagai generasi baby boom, oleh karena ledakan populasi dunia. Dengan ditemukannya antibiotik, kasus wabah penyakit yang mengakibatkan kematian massal dapat dicegah. Efek dari dijatuhkannya bom atom, gerakan pasifis anti perang menyebar ke seluruh dunia. Dengan kemajuan teknologi, jumlah korban bencana alam pun bisa diminimalisir. Otomatis, generasi sekarang lebih bisa menikmati hidup dibanding generasi sebelumnya. Kontrasepsi pun hadir sebagai jawaban atas ledakan populasi sebagai cara untuk membatasi reproduksi. Penemuan kontrasepsi juga menimbulkan revolusi seksual di masyarakat sehingga akhirnya kontrasepsi dipandang sebelah mata oleh kalangan religius konservatif sehingga kalangan ini seringkali mengharamkan penggunaan kontrasepsi termasuk untuk tujuan keluarga berencana antara suami-isteri.

Yang banyak kali dilupakan ialah pertumbuhan produksi pangan tidak berlari secepat pertumbuhan populasi. Para ahli memperkirakan dunia akan menghadapi krisis pangan global dalam hitungan tahun oleh karena jumlah populasi lebih banyak dari jumlah produksi pangan. Dengan kata lain, lebih banyak orang dibanding makanan yang tersedia. Berapa banyak yang ngeh akan hal ini? Dengan banyak anak, artinya kita berkontribusi terhadap krisis pangan yang akan datang nanti.

Krisis pangan di era globalisasi ini tidak sama dengan krisis pangan di zaman dulu atau di beberapa negara Afrika dimana suplai makanan tertahan oleh kelompok yang bersengketa. Krisis pangan zaman ini bukan terjadi hanya karena kekeringan atau tidak ada hujan hingga hasil panen gagal, namun lebih dari itu.

Pertanyaan sederhana, mengapa di Indonesia masih bisa terjadi kasus busung lapar? Karena tidak ada makanan? Bukan, makanan ada dimana-mana di negeri ini. Masalahnya ialah tidak ada uang untuk membeli makanan.

Bayangkan grafik pertumbuhan populasi dan pertumbuhan produksi pangan tadi. Apa yang akan terjadi menurut hukum ekonomi ketika jumlah demand lebih tinggi dari supply? Yang akan terjadi ialah kenaikan harga. Dengan kata lain, semakin banyaknya populasi manusia, maka harga pangan akan semakin mahal dan mahal.

Jika kita punya uang, kita tidak pernah pusing soal bisa beli makanan atau tidak. Kita tidak perlu  menangis sebelum makan sesuatu. Masalah kita berubah jadi memilih menu makanan yang bergizi atau menu makanan yang enak. Bagi banyak orang yang makmur dan tinggal di perkotaan, mereka sangat amat care dengan kandungan nutrisi yang masuk ke tubuh mereka. Tapi berapa banyak yang peduli dengan kandungan nutrisi yang masuk ke tubuh orang lain yang miskin?

Bagi mereka yang kaya raya dan punya banyak anak, yang seringkali tidak mereka sadari ialah bahwa jumlah anak mereka membawa pengaruh pada kenaikan harga pangan di negeri ini dan efeknya ialah semakin banyak orang miskin yang tidak bisa makan karena kenaikan harga tersebut. Benar, anak-anak orang kaya tersebut semuanya well-fed dan terpelihara. Namun pada saat yang sama, dia mentelantarkan ribuan anak lain yang kelaparan di muka bumi.

"I have three things I'd like to say today. First, while you were sleeping last night, 30,000 kids died of starvation or diseases related to malnutrition. Second, most of you don't give a shit. What's worse is that you're more upset with the fact that I said shit than the fact that 30,000 kids died last night." - Dr Tony Campolo

Adalah lebih terpuji, jika kita punya harta berlebih dan sanggup menanggung puluhan anak, untuk kita membuka atau membantu panti asuhan. Batasi jumlah anak kandung kita, namun perbanyak anak-anak dari keluarga kurang beruntung yang kita hidupi. Dengan begitu, maka kita ikut membantu memecahkan masalah sosial. 


Related Posts:



Enter your email address:

Comments

Agak out of topic tapi masih nyerempet.
Banyak yg tergoda memperbanyak anak dng harapan rejeki materi pun berlipat. Pemikiran naif ini masih berlaku sampai sekarang. Tapi yg menarik, somehow saya setuju anak = rejeki, rejeki dalam hal ini bukan materi tapi kemudahan banyak hal yg tidak terbayangkan sebelum memiliki anak. Ini yg terjadi di keluarga mini kami. Bersyukur & berjuang, itu yg tidak ada dalam mindset naif "banyak anak banyak rejeki" - tinggal ongkang ongkang kaki, kebutuhan material akan mengalir terbantu dengan banyaknya anak :D
bertzzie said…
Orang kaya memang punya kemungkinan lebih banyak beranak [1], tapi menurut saya part of the problem adalah agama, karena orang miskin lebih memiliki iman pada agamanya [2].

Ketika iman tersebut bilang gak boleh kontrasepsi, maka semuanya pada berhenti kontrasepsi. Orang kaya banyak anak, orang miskin banyak anak.

Double impact.

Not to mention ketika orang-oran g seperti Bill Gates ngomong soal kontrol populasi di TED Talk, malah dibilang dia mendukung aborsi. Masalahnya baru selesai kalau sistem ekonomi yang sekarang diganti total menjadi sistem baru IMO.

[1] http://econlog.econlib.org/archives/2011/06/kids_are_normal.html
[2] http://www.nytimes.com/2010/09/04/opinion/04blow.html?_r=1
Murni Rosa said…
Mestinya mereka yg ngga bisa punya anak kandung tetap bisa bersyukur, dan mikir ttg hal ini. Lagi pula kekayaan kalau 'ditimbun' buat keluarga sendiri terus, kapan punya "waktu memberi"?

Thanks sharingnya, Jed. Bagus sekali.
indy said…
abang ijin share di fb ya
thank you
dakwahpost.com said…
syukron infonya
jaysunmubarrok.blogspot.com