Within Walking Distance... In Jakarta?



Saya masih ingat ketika saya bertemu dengan klien kantor saya dari Jerman tahun lalu. Dia telah menjadwalkan untuk mengadakan 5 meeting di 5 tempat terpisah di Jakarta dalam satu hari. Saya mengatakan bahwa hal tersebut adalah kemustahilan karena kondisi Jakarta yang macet hanya memungkinkan untuk mengadakan maksimal 3 meeting di tempat terpisah dalam satu hari. Dia lalu mengeluarkan peta dari tasnya dan mencoba membantah masukan dari saya. "See here, there, it's very close. It's even within walking distance," ujarnya dalam bahasa Inggris. Spontan saya langsung nyeletuk, "There's no such thing as walking distance in Jakarta. People just don't walk."

Inilah Jakarta, kota modern yang ramah untuk pengedara mobil, namun kejam terhadap para pejalan kaki. Desain kota dengan jalan layang dimana-mana seakan mengandung pesan terselubung bahwa jumlah mobil di Jakarta harus terus bertambah dan jumlah pejalan kaki di Jakarta harus dimusnahkan. Bisa dilihat bagaimana kondisi trotoar di Jakarta. Sebagian besar rusak. Banyak yang ditumbuhi pohon. Banyak yang dipakai oleh pedagang kaki lima untuk berjualan. Parahnya, trotoar sering dipakai sebagai jalur alternatif untuk pengendara sepeda motor dan juga lahan parkir akibat terlalu banyak yang menggunakan kendaraan pribadi. Mencoba berjalan kaki di Jakarta adalah kegiatan dengan resiko maut, sementara pengendara mobil selalu mendapat fasilitas perbaikan jalan raya, lalu kapan ada perbaikan trotoar?

Para pejabat pemda DKI pasti berpikir buat apa perbaiki trotoar, toh tidak ada yang pakai. Pemikiran yang ngaco secara logika. Jumlah pejalan kaki semakin sedikit justru karena nyaris tidak ada trotoar yang layak pakai. Saya bahkan menyimpulkan satu-satunya tempat berjalan kaki yang terfasilitasi dengan baik di Jakarta ialah di dalam mal. Kalau tidak ada mal, orang Jakarta nyaris tidak berjalan kaki.

Lalu kenapa trotoar pejalan kaki amat sangat penting? Karena ini adalah bagian dari solusi macet Jakarta. Coba tengok kota-kota di luar negeri. Masyarakat di sana lebih memilih menggunakan kendaraan umum seperti subway train atau bus ketimbang menggunakan kendaraan pribadi karena salah satunya pajak parkir kendaraan yang tinggi. Bus di luar negeri juga tertip, hanya berhenti di halte, sedang di Jakarta kopaja dan metro mini bisa menurunkan penumpang di tengah-tengah perempatan jalan raya. Jakarta belum punya fasilitas MRT, cuma ada jalan layang di mana-mana. Tidak heran kalau kenyamanan transportasi ada di dalam mobil. Namun Jakarta punya TransJakarta dan jalur busway, namun tidak didukung dengan trotoar yang apik untuk orang berjalan kaki pasca turun dari bus TransJakarta. Trotoar yang layak akan membuat semakin banyak orang mau menggunakan kendaraan umum.

Mari kita lihat bagaimana kondisi trotoar yang seharusnya:


Trotoar yang bagus harusnya:
  1. Cukup lebar sehingga bisa menampung banyak pejalan kaki.
  2. Cukup landai sehingga bisa digunakan oleh mereka yang berkursi roda atau membawa kereta bayi, termasuk juga para skateboarder.
  3. Cukup aman sehingga terpisah dari jalan raya dan kendaraan bermotor.
  4. Cukup teduh dengan tanaman hijau di sisi trotoar, bukan di tengah-tengah trotoar.
  5. Cukup aman sehingga tidak terancam copet dan jambret.
Kapan ya kira-kira hal ini terealisasi? Adakah calon gubernur yang mau jadikan ini program prioritas?

Related Posts:

Enter your email address to receive this blog updates:

Comments

Meidireza said…
Kalo masih banyak banget yang make kendaraan pribadi kayaknya susah ya, secara nanti prioritas pembangunan jelas bakal ke pelebaran jalan dibanding pengadaan trotoar yang layak. Jadi emang kayaknya starting point-nya itu lagi-lagi di pengadaan transportasi umum yang bagus dan terintegrasi.