Memberantas Korupsi Sistemik


Saya masih ingat beberapa tahun lalu salah seorang saudara saya diminta untuk bergabung ke sebuah perusahaan besar oleh bos perusahaan tersebut dengan sebuah misi: mencari kebocoran korupsi di perusahaan swasta tersebut. Saudara saya tersebut dengan tekun melakukan audit dan pengecekan ke semua departemen di perusahaan tersebut dan beragam hadiah kerap berdatangan ke rumahnya. Bahkan di hari pertama kerja, baru masuk ruangan, belum duduk, sudah dapat telpon dari salah satu manager yang menanyakan berapa nomor rekening. Ketika dia menyampaikan laporan hasil investigasi auditnya kepada sang bos besar, reaksi sang bos sangatlah tidak diduga. "Jadi maksud laporan ini semua kaki tangan saya melakukan korupsi? Kalau gini ya sudah. Masak saya mau pecatin semua? Ga mungkin kan? Ya sudahlah." Besoknya saudara saya tersebut mengajukan pengunduran diri karena toh perannya juga sudah tidak dibutuhkan perusahaan tersebut.

Kisah tersebut di atas adalah contoh kisah korupsi sistemik yang kerap terjadi di negara kita tercinta ini. Mengapa saya mengambil contoh tersebut? Karena pertama saya tahu persis kalau cerita itu benar terjadi karena diceritakan langsung oleh orang yang saya kenal baik. Kedua karena kejadian tersebut terjadi di sebuah perusahaan swasta. Bisa dibayangkan jika sebuah perusahaan swasta saja bisa begitu terjerak korupsi yang sistemik, bagaimana dengan birokrasi pemerintahan. Bisa jadi skalanya lebih sadis dari itu.

Masalah korupsi di Indonesia bukanlah masalah kasus per kasus melainkan masalah sistemik karena melibatkan hampir semua orang. Jika hanya satu dua orang yang korupsi, tentunya akan dengan mudah diberantas. Lalu bagaimana jika semua orang melakukan korupsi? Posisi kita tentunya akan seperti bos di perusahaan tersebut. "Apakah artinya saya harus memecat semua orang? Padahal mereka orang-orang yang kapabel. Lalu dengan siapa saya harus mengganti mereka semua?" Posisi ini pernah dirasakan oleh Megawati ketika menjabat Presiden RI. Dia mengeluhkan sulitnya pemberantasan korupsi ketika semua orang melakukan hal tersebut. Itu sebabnya kemudian KPK dibuat agar ada lembaga independen bebas kepentingan untuk memberantas korupsi pelan-pelan. Namun apakah cukup? Itu pertanyaan yang harus kita renungkan bersama.

Gambaran bagaimana korupsi sistemik dalam birokrasi pemerintahan bisa dilihat dari video wawancara dengan Ahok berikut:



Saya selalu berpikir bahwa korupsi dimulai dari hal-hal yang lebih kecil, diantaranya mencontek dalam ujian di sekolah. Kalau kita percaya tidak masalah melakukan kecurangan selama kita mendapatkan untung darinya seperti dalam tindakan mencontek, maka besar kemungkinan kita tidak akan merasa berdosa ketika menyerobot  antrean, membuang sampah sembarangan, dan kemudian melakukan korupsi dengan jumlah milyaran rupiah. Semua kembali kepada nilai yang kita anut sebagai manusia, apakah kita menganggap melakukan kecurangan itu baik atau buruk. Ketika kita hanya berpikir dalam konteks "yang penting saya untung meskipun orang lain menderita" itu adalah pintu gerbang menuju menjadi pelaku korupsi. 

Kalau kita melihat statistik negara-negara yang relatif bersih dari korupsi, maka kita bisa menarik sebuah kesimpulan sederhana kalau korupsi bukan soal keimanan (atau agama, karena banyak pemuka agama yang lebih ganas dalam korupsi, misal korupsi uang umat), namun soal etika. Negara yang bersih lingkungannya, tidak ada yang buang sampah sembarangan di jalan, cenderung lebih bebas korupsi. Sedang di sisi lain, negara yang jorok dimana penduduknya tidak merasa bersalah membuang sampah sembarangan, adalah juga negara yang tingkat korupsinya tinggi. Mengapa bisa begitu? Ya karena itu kembali kepada nilai etika yang kita anut, apakah:
  • ga papa curang dikit, yang penting saya untung.
atau
  • saya tidak bisa mentolerir terjadinya kecurangan karena itu tidak adil.
Semua kembali ke nilai etika yang kita anut dan amalkan sebagai manusia.

Itu sebabnya korupsi sistemik hanya bisa diberantas melalui pendidikan etika. Melihat kondisi pendidikan di Indonesia saat ini, saya masih pesimis karena situasi yang ada justru kecurangan justru diajarkan seperti yang bisa kita lihat dalam Ujian Nasional. Selaku mantan guru yang pernah mengajar kelas 3 SMA, hati saya miris melihat anak didik saya yang pintar hanya dapat nilai 7 dalam Ujian Nasional karena mereka mengerjakan soal dengan jujur, sementara anak didik yang biasanya dapat nilai 2 dalam ulangan, malah justru dapat nilai 9,9 di Ujian Nasional. Inikah keadilan? Tentunya bukan. Yang terjadi dalam Ujian Nasional justru kecurangan di-encourage bahkan oleh pihak institusi pendidikan cuma demi sebuah "muka" yang munafik.

Anda merasa diri Anda orang yang jujur? Mari jawab pertanyaan berikut:
  • Apakah Anda pernah mencontek pada saat ujian sekolah? Apakah Anda merasa bersalah?
  • Anda mungkin tidak mencontek, tapi Anda melihat teman-temen Anda saling berkerja sama mencontek, apa yang Anda lakukan? Melaporkan atau mendiamkan?
Jawaban terhadap pertanyaan terakhir akan menentukan apakah yang akan Anda lakukan nantinya ketika di dunia kerja, Anda melihat rekan-rekan Anda melakukan korupsi sistemik, apa yang akan Anda lakukan? Melaporkan dan dimusuhi? Atau akan menutup mata seraya berkata "yang penting saya tidak korupsi".

Apakah mengetahui terjadinya korupsi namun menutup mata juga termasuk korupsi? You answer.

Related post:

Enter your email address:

Comments

Anonymous said…
Bacaan yang menarik, bisa disimpulin semua sih karena kebiasaan. Bisa membuang sampah sembarangan karena terbiasa buang sampah sembarangan.

Mungkin yang kurang adalah penegakan hukum yang buruk. Coba yg buang sampah sembarangan didenda besar atau dipotong tangan, mungkin gak ada lagi yang buang sampah sembarangan. Sama aja halnya dengan korupsi. Koruptor kok masih dapet remisi, makin aja banyak yg korupsi lantaran "ah, kalo ditangkep trus dipenjara juga cuman bentar."
Anonymous said…
ketika korupsi sistemik,
yang diubah haruslah sang pembuat sistem.
peningkatan nilai kejujuran, integritas dan bersih harus jadi prkoritas.
negeri ini darurat integritas