image source: link
Pemerintah Indonesia selalu membanggakan hasil gemilang Ujian Nasional dimana hampir 100% target kelulusan berhasil dicapai. Namun hanya sedikit pihak yang merasa hal ini adalah sebuah prestasi. Mengapa? Karena sudah rahasia umum kalau penyelenggaraan UN penuh kecurangan. Saya sempat membahas di tulisan lama saya berjudul Pendidikan Korupsi dan Korupsi Pendidikan kalau penyelenggaraan UN justru mengajarkan korupsi. Pihak Kemendikbud yang menekan Dinas Dikbud Daerah untuk tingkat kelulusan 100%, lalu dinas menekan kepala sekolah, kepala sekolah akhirnya menekan para guru. Akhirnya kunci jawaban beredar luas sebagaimana kesaksian dari tulisan "Oh, UN itu begini". Pemerintah selalu berdalih kalau Ujian Nasional perlu untuk standardisasi output pendidikan nasional serta untuk membuat siswa-siswi kita belajar. Namun, sebuah standar tentunya tidak valid ketika dilakukan dengan kecurangan masif. Selain itu, pengalaman saya sebelumnya sebagai guru kelas 12 SMA yang mempersiapkan para siswa-siswi menghadapi UN bisa disimpulkan pada kalimat yang diutarakan salah satu murid ke saya, "Buat apa belajar Pak kalau akhirnya tidak lulus?"
Kemarin saya membaca sebuah tulisan blog berjudul "Indonesian Kids Don't Know How Stupid They Are" yang patut kita renungkan bersama. Dituliskan kalau hasil PISA test anak Indonesia usia 15 tahun ternyata tertinggal jauh dari anak-anak di negara lain dalam kemampuan matematika, IPA, dan membaca. Hal ini seharusnya membuat kita semua khawatir karena anak-anak muda adalah masa depan bangsa. Bagaimana mereka bisa bersaing dengan negara lain kalau kemampuan standar mereka tertinggal jauh. Hasil UN yang fantastis sepertinya cuma make up yang dipakai pemerintah untuk berdalih kalau mereka telah berhasil mencerdaskan anak bangsa, padahal sebenarnya gagal total. Mendikbud M Nuh pun langsung berkomentar menanggapi hasil PISA test kalau Kurikulum 2013 adalah obatnya.
Lalu apakah benar Kurikulum 2013 akan bisa membenahi kemampuan anak bangsa? Sudah berulang kali pemerintah mengganti kurikulum yang memang sewajarnya dilakukan untuk mempersiapkan generasi penerus seiring dengan perubahan zaman. Namun, seperti yang bisa dilihat dalam kurikulum sekolah dasar 2013, kemendikbud ingin berfokus pada mata pelajaran Agama, PPKn, dan Bahasa Indonesia. Sementara pelajaran seperti Bahasa Inggris dan Komputer dijadikan sebagai ekstrakurikular pilihan dengan Pramuka dijadikan ekstrakurikular wajib. Pertanyaannya, apakah ini yang dibutuhkan generasi penerus bangsa 15 tahun lagi ketika mereka bersaing di bursa kerja? Jangan-jangan kurikulum 2013 cuma mampu mempersiapkan generasi penerus untuk penerimaan CPNS tapi tidak lebih dari itu.
Mari sejenak berpikir tahun 2030, bagaimanakah kondisi dunia pada waktu itu. Satu hal yang pasti ialah dunia semakin rata, masyarakat semakin global, dan kemajuan teknologi semakin pesat. Di masa depan, persaingan sumber daya manusia itu bukan hanya di level antar kota, tapi sudah antar negara. Mampukah SDM kita tahun 2030 bersaing dengan SDM-SDM dari negara-negara tetangga kita? Itu adalah pertanyaan besar yang harus kita renungi bersama kalau tidak ingin generasi masa depan cuma punya impian jadi PNS.
Bicara persaingan global, ada 2 skill utama yang dibutuhkan generasi masa depan: kemampuan bahasa asing dan kemampuan mengembangkan teknologi (bukan sekedar menggunakan). Pekerjaan yang banyak dibutuhkan di masa depan ialah computer programmer karena semua pengembangan teknologi bertumpu pada pengembangan aplikasi teknologi. Ketika ada gerakan di Amerika Serikat untuk memasukan coding (pemograman) sebagai mata pelajaran SD, di Indonesia mata pelajaran Komputer malah dianggap tidak penting dan dijadikan sekedar ekstrakurikuler pilihan. Tonton video di bawah ini untuk mengerti betapa pentingnya pelajaran coding untuk masa depan.
Menyedihkan bagi saya untuk seorang pakar pendidikan seperti Arief Rahman membuat pernyataan kalau pelajaran Bahasa Inggris dan Ilmu Komputer tidak penting seperti yang ditulis di sini:
"Begini, kurikulum itu jangan berisi dengan mata pelajaran yang tidak ada gunanya. Sebab hal itu malah memberatkan anak-anak," kata Arif di Jakarta, Kamis, (12/12). Anak-anak di daerah terpencil, pelosok, bahkan di hutan tidak membutuhkan bahasa Inggris. "Jadi tidak ada gunanya jika bahasa Inggris dijadikan mata pelajaran wajib bagi anak-anak di pelosok tersebut, makanya memang tidak perlu dimasukkan ke kurikulum," ujar Arif. Bahasa Inggris dan TIK (Teknologi & Ilmu Komunikasi), terang Arif, tidak dibutuhkan secara nasional. Jadi sebaiknya bahasa Inggris dan TIK dijadikan muatan lokal atau pelajaran ekstra kulikuler saja. Posisi bahasa Inggris di Indonesia itu, kata Arif, berbeda dengan posisi bahasa Inggris di Malaysia, India, dan Singapura. Bagi negara-negara tersebut bahasa Inggris merupakan bahasa kedua, kalau di Indonesia tidak. "SD di Cakung belum tentu butuh bahasa Inggris, berbeda dengan SD di Menteng yang mungkin anak-anaknya sering berinteraksi dengan warga asing, makanya butuh bahasa Inggris. Bahasa Inggris itu cukup diajarkan di SMP dan SMA untuk mengantarkan mereka agar bisa membaca buku bahasa Inggris saat kuliah," terangnya.
Mungkin usia Pak Arief yang sudah 71 tahun membuatnya tidak banyak berpikir tentang masa depan dan hanya berkaca pada masa lalu. Bahasa Inggris hanya diperlukan untuk membaca textbook pas kuliah itu memang benar, tapi benar ketika 15 tahun lalu. Sejak adanya internet dan mobile gadget, akses global ada di tangan. Siapapun bisa berkomunikasi dengan orang lain dari negara lain dengan mudah tanpa perlu bertemu dahulu. Internet telah membuat persahabatan, bisnis, dan pendidikan dapat dilakukan dalam skala global. Bahasa Inggris adalah bahasa wajib untuk survival di masa depan, bahkan untuk yang tinggal di pelosok sekalipun, karena dunia sudah semakin datar, komunikasi sudah tidak lagi mengenal jarak. Jika anak-anak kita dibekali kemampuan Bahasa Inggris yang baik, mereka bahkan bisa mengkarbitkan pengetahuan mereka dengan mengikuti berbagai kelas massive online open course.
Nah sekarang bayangkan tahun 2030 dimana SDM negara lain pada jago coding dan menciptakan banyak teknologi canggih baru sementara SDM di Indonesia terlatih dalam agama dan pramuka. Apakah yang akan terjadi?
Comments
(tentunya dgn mencantumkan sumbernya)
Post a Comment