sumber gambar: [tautan]
Pasti banyak pembaca blog ini yang merupakan penggemar acara seperti Indonesian Idol, X Factor Indonesia, atau sejenisnya. Acara seperti ini memilih pemenang dengan menggunakan voting SMS sehingga seringkali pemenang kontes nyanyi di televisi ini bukanlah penyanyi dengan kualitas terbaik, tapi yang paling populerlah yang menang. Ambil contoh Fatin yang berhasil menjuarai X Factor Indonesia 2013 meskipun pada saat grand finale mengalami fals dan lupa lirik. Majority rules ketika keputusan diserahkan pada suara terbanyak. Hal ini adalah kewajaran ketika pemenang ditentukan oleh pemirsa Indonesia yang rata-rata tidak sadar akan kualitas musik karena referensi yang terbatas. Untuk memperbaiki, diperlukan edukasi musik bermutu secara terus menerus namun ini bukan perkara mudah seperti membalikan telapak tangan.
Demikian juga dengan demokrasi di Indonesia sebagai negara terbesar yang rakyatnya memilih langsung presidennya. Tentunya pemenang pemilihan presiden dengan cara ini ialah kandidat yang paling populer yang belum tentu adalah kandidat paling berkualitas. Seperti yang kita bisa lihat pada banyak pemilihan kepala daerah, justru kandidat yang tidak kompeten dan korup yang sering menang. Mengapa? Karena mayoritas rakyat kita bukan hanya selera musiknya masih buruk, tapi juga pemahaman politiknya masih buruk. Apalah artinya ada calon presiden berkualitas namun tidak ada yang tahu atau tidak ada yang mau memilih? Yang seringkali terjadi sebagaimana di kontes idol-idolan, yang modalnya paling gede yang punya peluang menang lebih besar.
Dalam hasil survei yang dirilis oleh lembaga riset Indikator pada Desember 2013 lalu, disebutkan bahwa 41,5% rakyat Indonesia menganggap politik uang bisa diterima sebagai sesuatu yang wajar. Dengan kata lain, 41,5% pemilih kita akan menerima pemberian yang diberikan oleh peserta pemilu untuk mempengaruhi suara yang akan diberikan. Hal ini tentunya membuat miris kita semua bahwa hampir separuh pemilih kita bersikap toleran terhadap politik uang. Yang jadi pertanyaan, bagaimana bisa demokrasi kita menghasilkan pemimpin yang bersih, jujur, dan berkualitas kalau sebagian pemilih tidak menganggap kualitas tersebut adalah syarat wajib pemimpin negara? Tidak heran kalau menang kalah dalam pemilu lebih banyak ditentukan dari faktor uang yang dikucurkan, ketimbang lewat kualitas personal sang calon.
Saya ingat perbincangan saya dengan beberapa teman belum lama lalu. Salah satu mengatakan kalau ada calon legislatif yang sudah mengucurkan dana memperbaiki jalan di kampungnya. Seluruh penduduk kampung, termasuk teman saya tersebut, berkomitmen untuk mencoblos sang calon pada pemilu nanti. Menurut teman saya lebih baik memilih yang sudah jelas telah membantu ketimbang memilih yang cuma berjanji akan membantu kalau terpilih nanti. Saya katakan pada teman saya bahwa bukankah bisa diramalkan kalau calon tersebut bakal korupsi nanti ketika menjabat demi balik modal yang sudah dikeluarkan pada saat kampanye? Teman saya menjawab kalau menurutnya itu tetap lebih mending dibanding tidak kecipratan sama sekali karena siapapun calonnya tetap akan korupsi juga. Saya cuma bisa geleng-geleng kepala namun jika direnungkan, begitulah pola pikir sebagian besar rakyat kita.
sumber gambar: [tautan]
Melihat profil pemilih kita, susah untuk berharap banyak akan ada perubahan berarti lewat proses pemilihan umum:
- 51% pemilih kita tinggal di desa.
- 50% pemilih kita cuma tamat Sekolah Dasar
- 59% pemilih kita memiliki penghasilan di bawah 1 juta rupiah per bulan.
Jadi kita jangan kaget kalau selera pemilih kita yang buruk sehingga kandidat capres manapun meski tidak jujur dan berkualitas, tetap bisa menang asal populer dan punya modal uang yang tidak berseri. Karena itu pemilu akhirnya bicara memilih the better among the worse dan the lesser evil dari semua yang maju.
Melihat kembali ke masa lampau, sebenarnya hal ini sudah diprediksi oleh para founding fathers kita. Sila ke-4 Pancasila itu berbunyi: "Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan / Perwakilan" yang berarti demokrasi yang digariskan oleh Pancasila ialah demokrasi yang menggunakan hikmat kebijaksanaan dan bukan sekedar adu popularitas. Dalam UUD 1945 sebelum amandemen disebutkan kalau rakyat memilih Majelis Permusyawaratan Rakyat dan kemudian MPR yang memilih Presiden dengan cara musyawarah menggunakan hikmat kebijaksanaan untuk akhirnya memilih calon terbaik. Hal ini diharapkan bisa menghindarkan dari dominasi mayoritas atau tirani minoritas. Namun pada pelaksanaannya, sistem ini fail juga. Anggota DPR/MPR pun bisa disogok atau ditekan, sehingga akhirnya pemilihan pun bukan lagi berdasar pada hikmat kebijaksanaan, pada kembali berdasar pada kekuatan modal.
Jika kita coba berpikir out of the box sedikit, kita bisa melihat dalam pemilihan lembaga tinggi negara umumnya ada proses lewat panitia seleksi dan kemudian fit and proper test. Mereka yang lolos baru kemudian pada tahap akhir dipilih lewat voting. Mungkin saja cara berikut bisa memecahkan kebuntuan politik di negara ini:
- Adanya panitia independen seleksi kandidat capres yang berisikan unsur KPK, perguruan tinggi, dan tokoh masyarakat.
- Seleksi menilai track record, kompetensi, dan juga wawasan dari para calon sebagaimana layaknya job interview.
- Semua yang mau mencalonkan diri jadi presiden harus menghadapi panitia independen untuk dinilai kepantasannya untuk maju. Seperti di Amerika, semestinya pimpinan partai politik dilarang untuk maju mencapreskan diri.
- Para calon presiden yang mendapat rekomendasi dari panitia seleksi kemudian roadshow ke partai-partai politik untuk mendapatkan dukungan politik. Mereka yang tidak mendapat rekomendasi dilarang untuk maju.
- Pasangan capres-cawapres yang sudah mendapatkan dukungan politik dari partai politik kemudian berkompetisi dalam pemilihan langsung oleh rakyat.
Walaupun cara ini juga masih rentan dimanipulasi, tapi setidaknya akan mendiskualifikasi calon-calon yang cacat moral ataupun tidak memiliki kemampuan cukup menjadi pemimpin negara. Kalau ada yang punya ide lain, silakan disampaikan pada kolom komentar di bawah.
Related Posts:
Comments
Jangan sampek yg udah cacat di kayakkkk... hmmm.. sebutin gak ya? Hmm itulah pokoknya. Jangan sampek malah kepilih.
Doh..
Post a Comment