TOEFL dan Pak Menteri yang Keblinger


Bulan Januari lalu, saya membaca berita kalau Menteri Perdagangan Indonesia, Gita Wirjawan, mengharuskan PNS di lingkungannya memiliki skor TOEFL minimal 600. Berita tersebut bisa dibaca di sini dan ditonton di sini. Saya geleng-geleng kepala membaca berita tersebut karena sebagai orang yang bertahun-tahun bekerja di bidang teaching English as a foreign language, saya menemukan bahwa banyak sekali yang tidak paham apa itu TOEFL dan fungsinya.

Dari sisi niatan, mungkin intensi Pak Menteri tersebut dapat dibenarkan. PNS, terutama di lingkungan Kementerian Perdagangan dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang dipimpinnya memang sangat perlu menguasai bahasa asing, terutama bahasa Inggris, namun membuat kebijakan dengan standar yang salah tentunya adalah sebuah kegegabahan. Dikabarkan di sini kalau Pak Menteri sudah siapkan 6 miliar untuk meningkatkan skor TOEFL anak buahnya.

TOEFL adalah Test of English as a Foreign Language yang merupakan produk dari Educational Testing Service (ETS) yang berbasis pada Standard American English. TOEFL dibuat sebagai standar untuk menilai kemampuan Academic English seseorang dan menjadi patokan untuk universitas-univeritas di Amerika Serikat untuk menerima mahasiswa asing. Jika kita ingin kuliah di negara Paman Sam dan skor TOEFL kita dibawah standar, maka kita harus mengikuti kursus bahasa Inggris hingga dianggap memadai untuk mengikuti perkuliahan, terutama memahami lecture, membaca buku teks berbahasa Inggris, dan menulis academic essay dengan grammar yang apik (baca: educated).

Tes TOEFL resmi yang diakui oleh universitas-univeritas di Amerika Serikat adalah tes yang diadakan langsung oleh ETS dan perwakilannya. Harga tes adalah sekitar US $ 160 hingga US $ 250. Umumnya yang sekarang diterima ialah tes TOEFL iBT atau Internet Based Test dimana tes dikerjakan di komputer yang terkoneksi secara online. Sedang tes TOEFL PBT atau Papar Based Test yang dikerjakan diatas kertas yang disediakan. Secara struktur tes, TOEFL iBT akan memberi tes Speaking, Listening, Reading, dan Writing dengan skor hasil antara 0-120. Sedang TOEFL PBT akan memberi tes Listening, Structure, Reading dan Writing dengan skor hasil antara 310-677. Jika ada yang mengklaim memiliki skor TOEFL diatas 677, maka something is definitely wrong. Pak Menteri sendiri di sini mengaku punya skor TOEFL sekitar 650-an yang entah kapan diambilnya.

Jadi bisa disimpulkan kalau Pak Menteri sedang membicarakan TOEFL PBT ketika membuat peraturan standar skor TOEFL di kementeriannya minimal 600. Pertanyaan selanjutnya ialah, apakah para PNS tersebut mengambil tes TOEFL yang resmi atau yang bajakan? Agak lucu ya kalau Kementerian Perdagangan yang harusnya memerangi pembajakan malah mengadopsi tes bajakan. Saya terus terang tidak tahu namun barusan saya cek di situs resmi TOEFL mengenai institusi mana saja di Indonesia yang memakai TOEFL resmi oleh ETS untuk penerimaan, saya mendapat hasil di sini dan belum ada nama Kementerian Perdagangan atau BKPM di situ. Saya juga tidak yakin ETS akan setuju Kementerian Perdagangan menggunakan TOEFL sebagai standar penerimaan pegawai, karena TOEFL memang tidak didesain untuk penerimaan pegawai, namun untuk penerimaan mahasiswa. Nah lho.

ETS punya tes tersendiri untuk menjadi standar kemampuan Bahasa Inggris dalam kaitannya dengan penerimaan pegawai, yakni TOEIC atau Test of English as an International Communication yang memiliki score range antara 10-990. Jika TOEFL mengetes academic English, maka TOEIC mengetes occupational English. Hal ini jelas ketara dalam perbedaan materi soal antara TOEFL dan TOEIC. Dalam bagian Listening Comprehension misalnya, TOEFL akan memberikan discource dalam bentuk lecture atau percakapan di kampus, sedang TOEIC akan memberikan discource yang berkaitan dengan dunia kerja dan bisnis. Dalam bagian Reading Comprehension, TOEFL akan memberikan discourse berupa penggalan textbook bermacam-macam mata kuliah, sedang TOEIC menggunakan discourse dari surat, agenda, memo, email, dan seterusnya yang berhubungan dengan dunia pekerjaan. Saya yakin semua yang pernah ambil TOEFL dan TOEIC akan mengerti perbedaan ini. 

Nah, sudah mulai mengerti kan mengenai keanehan dari kebijakan nilai TOEFL minimal tersebut. Pada kenyataannya masih banyak yang salah kaprah, termasuk perusahaan-perusahaan yang menerapakan standar TOEFL dan bukan TOEIC dalam penerimaan karyawan. Untuk penerapan standar yang berbasis British English perlu dipertimbangkan juga penggunaan IELTS (International English Language Testing Service) dan BULATS (Business Language Testing Service). Untuk standar yang lebih Indonesia, bisa pertimbangkan untuk mengambil EPT (English Proficiency Test) dan BET (Business English Test) yang dikembangkan oleh LBPP LIA.

Di banyak tempat, pemaksaan standar skor TOEFL tertentu juga membuat timbulnya beragam bisnis baru, dari yang halal hingga haram. Ada pelatihan TOEFL menjamur dimana-mana, belum lagi lembaga-lembaga yang menyediakan TOEFL Prediction Test berbasis soal-soal TOEFL yang sudah outdated. Belum lagi buku-buku tentang trik-trik TOEFL yang sudah banyak beredar. Nah yang paling parah ialah joki TOEFL, dimana kita bisa membayar joki tersebut untuk mengambil tes atas nama kita.

Sebagai orang yang berkecimpung di bidang pengajaran bahasa Inggris selama bertahun-tahun, saya bisa katakan bahwa academic English, business English, dan conversational English adalah penguasaan yang berbeda. Jika seseorang memiliki academic English yang bagus, belum tentu dia memiliki business English dan conversational English yang bagus pula. Demikian juga sebaliknya. Untuk membuat kebijakan yang tepat, ada baiknya gunakan tes yang tepat pula.

 RELATED POST:



Enter your email address:

Comments

nancy john said…
This comment has been removed by a blog administrator.