Perdebatan di Warung Kopi


Di suatu sore yang sejuk, 2 orang sahabat karib, Karno dan Rahman sedang duduk ngopi di warung kopi Bu Ega.
  • Karno: "Bu Ega, sebentar lagi kan pemilihan kepala desa. Ibu mau pilih siapa?" 
  •  
  • Bu Ega: "Duh, mas Karno. Kalau buat saya, siapa saja ga masalah, yang penting itu aman."
  •  
  • Rahman: "Nah Bu Ega, kalau mau aman ya pilih Pak Malik. Dia kan pembina ormas Pemuda Peduli. Kalau sama dia, kemanan pastinya terjamin."
  •  
  • Karno: "Gimana sih kamu Man. Pak Malik kan preman. Masak mau aman malah pilih wageng preman?"
  •  
  • Rahman: "Otak lu dipake dong, No. Kalo pilih yang lain, Pak Malik dan pengikutnya pastinya tidak terima. Nah, kalau dia tidak terima, dia bikin ribut, gimana? Jadi, kalau mau aman ya pilih dia aja. Dijamin ga ada yang akan berani bikin onar di sini. Mana ada yang berani sama dia?"
  •  
  • Karno: "Lho, koq bisa-bisanya milih preman malah bikin aman. Bukannya nanti dia akan memeras Bu Ega untuk kasih setoran setiap minggunya? Kasihan dong."
  •  
  • Bu Ega: "Ga papa. Mending bayar setoran tiap minggu tapi aman, dibanding tidak ada setoran, tapi rusuh, lalu saya ga bisa dagang."
  •  
  • Rahman: "Nah, denger gak tuh kata Bu Ega. Kita itu wong cilik. Kalo ga punya power ya ga usah belagu. Nurut saja sama yang kuat. Hukum alam, siapa yang kuat, dia yang berkuasa."
  •  
  • Karno: "Cara pikirnya salah Man. Sadar ga sih kalau rasa aman yang di bawa Pak Malik itu cuma rasa aman yang semu. Kita sebenarnya bukan aman, tapi terancam. Seperti kata Captain America, 'this isn't freedom, this is fear'."
  •  
  • Rahman: "Tidaklah. Pilih mana sekarang, diatur oleh satu preman powerful atau tidak ada yang berkuasa sehingga timbul banyak preman-preman kecil. Orang kayak Bu Ega yang paling merasakan akibatnya. Ga kasihan apa?"
  •  
  • Bu Ega: "Bener banget. Kalau sama Pak Malik kan saya cuma perlu bayar setoran ke dia saja. Kalau bukan dia, bisa jadi akan ada banyak preman baru. Nanti kalau semua minta setoran, mampus saya."
  •  
  • Karno: "Lalu sampai kapan kita mau hidup dalam ketakutan? Kapan dong kita jadi masyarakat yang beradab seperti halnya negara-negara maju?"
  •  
  • Rahman: "Ya jangan samakan kita dengan mereka dong. Kita ini masih terbelakang. Orang kita ini baru bisa tertib kalau takut. Kalau tidak ditakut-takuti ya liar. Semua bertindak semaunya sendiri dan anarkis."
  •  
  • Karno: "Belajar dari sejarah dong. Mereka bisa sampai ke titik demokrasi sejati, yakni rakyat yang berdaulat, itu kan lewat proses pendidikan politik yang panjang. Kalau tidak dimulai sekarang, kapan lagi? Kalau bukan kita, siapa lagi?"
  •  
  • Rahman: "Tidak, aku tidak setuju. Kita cuma butuh pemimpin yang kuat, berdaulat, dan ditakuti. Cuma dengan cara seperti itu maka kita bisa aman dan bebas dari anarkisme."
  •  
  • Bu Ega: "Duh, diskusi kalian sudah semakin berat bahasanya. Ibu tinggal buat masak gorengan dulu ya."
  •  
  • Karno: "Man, kita itu harus melihat ke depan. Demokrasi yang sesungguhnya itu ketika pemerintah takut sama rakyat, bukan sebaliknya. Seperti ucapan V di film V For Vendetta, "People should not be afraid of their governments. Governments should be afraid of their people." Pemerintah itu cuma pelayan masyarakat, kalau servisnya tidak memuaskan, ya kita protes minta diganti."
  •  
  • Rahman: "Rakyat koq dituruti. Maunya pasti macem-macem. Tidak boleh, tidak boleh. Lebih ideal itu kalau rakyat takut dengan pemerintah, sehingga bisa aman dan terkendali."
  •  
  • Karno: "Man, salah tuh cara pikirnya. Keamanan sejati itu ketika hukum ditegakkan. Selama hukum masih pandang bulu, yang miskin tidak bisa melawan yang kaya, itu artinya masyarakat masih hidup dalam ketakutan. Rakyat tidak bisa menekan pejabat-pejabat untuk meningkatkan standar pelayanan masyarakat karena nanti malah rakyatnya yang dipenjarakan."
  •  
  • Rahman: "Hukum itu cuma bisa tegak kalau penegak hukum ditakuti."
  •  
  • Karno: "Salah. Hukum itu bicara keadilan dan kesamarataan."
  •  
  • Rahman: "Tidak mungkin. Mustahil. Kalau tidak ada sosok yang ditakuti, semua ya bertindak semaunya sendiri."
  •  
  • Karno: "Kata siapa? Di negara-negara maju, yang powerful itu hukumnya. Yang ditakuti itu hukumnya, bukan sosok penegak hukumnya. Kalau oknum penegak hukum malah melanggar hukum, ya dia juga kena hukuman."
  •  
  • Rahman: "Wah kalau Pak Malik melanggar hukum, lalu dia dihukum, bisa rusuh tuh. Preman-preman binaan dia pastinya tidak akan terima."
  •  
  • Karno: "Nah itu maksudku. Sampai kapan kita mau biarkan orang kayak Pak Malik berkuasa? Sampai kapan kita mau biarkan preman punya kekuasaan? Jadi pertama, kita jangan kasih mereka kekuasaan. Selanjutnya, kita tegakkan hukum. Semua yang melanggar hukum harus kena hukum, termasuk Pak Malik. Baru begitu semua orang akan takut pada hukum. Tidak akan ada yang berani buat onar karena semua yang melanggar akan kena tindak tanpa pandang bulu. Mau orang kaya kek, mau punya ormas kek, siapapun sama di depan hukum."
  •  
  • Rahman: "Apa mungkin? Orang-orang Pak Malik kan banyak?"
  •  
  • Karno: "Kalau kita tidak membunuh kepala naga, bagaimana mungkin kita bisa mengejar kaki dan ekornya. Semua kan tergantung ketegasan rakyat. Jadi rakyat yang harus tegas dulu."
  •  
  • Rahman: "Tidak ah, aku tidak berani."
  •  
  • Karno: "Justru itu kenapa kita punya pemilihan yang langsung, umum, bebas, dan rahasia. Supaya semua bisa menyatakan pendapatnya tanpa ditekan oleh pihak manapun. Mau sampai kapan kita hidup dalam ketakutan?"
  •  
  • Bu Ega: "Ya ampun, belum selesai toh diskusinya. Nih gorengannya sudah jadi."
  •  
  • Rahman: "Nah ini yang dinanti-nanti. Kebetulan perut ini sudah memuncak laparnya."
  •  
  • Karno: "Tidak ada yang ngalahin tempe gorengnya Bu Ega memang"
Sumber Gambar: [tautan]

Bacaan Terkait:

Enter your email address below:

Comments

Erik Eneddy said…
Pemikiran tokoh Rahman di atas pernah juga menjadi pemikiran saya -- apakah masyarakat sudah cukup dewasa untuk menghargai demokrasi dan kebebasan yang ada di dalamnya.

Saya adalah orang yang percaya dengan proses, bukan sekedar hasil. Jadi saya tidak setuju kalau demi mencapai 'rasa aman' (yang mungkin ternyata semu) itu, kita harus memilih pemimpin yang ditakuti.

Memang melewati proses pendewasaan demokrasi lebih sulit dibandingkan memaksa keamanan dengan rasa takut.

Pilihan yang ada kali ini, bagi saya adalah antara seorang yang ditakuti atau seorang yang disayangi, disegani, yang memberikan harapan akan masa depan yang bersahabat. Jadi buat saya, kesempatan untuk memilih pemimpin #2 tersebut tidak akan saya sia-siakan.
Unknown said…
Bung Jed, tulisannya sejuk nih padahal topik cukup panas :p

Saya setuju banget dengan Karno bahwa yang ditakuti harusnya HUKUM bukan APARATnya.
Pengalaman saya waktu kuliah hukum, setelah observasi ke Kepolisian, Kejaksaaan, dan Pengadilan, saya kaget bahwa banyak oknum APARAT yang merasa kebal hukum, apalagi penguasa jenis lain.

Menurut saya, salah satu solusi ampuh untuk negara tercinta ini ya ketakutan akan HUKUM dari semua lapisan masyarakat, termasuk ya rasa takut dari APARATnya sendiri. Semoga HUKUM bisa adil sehingga masyarakat bisa hidup tenang. Hidup tenang mempemudah untuk hidup sejahtera.

Semoga 9 Juli 2014 dan hasil dari hari itu tidak ada yang bertentangan dengan hukum & rasa keadilan masyarakat :)
Jed Revolutia said…
@Yohanes: Pak Malik bisa dapat dukungan masyarakat banyak karena orang seperti Ibu Ega butuh keamanan. Yang diminta tidak muluk-muluk, karena dengan aman, wong cilik kayak dia, bisa tetap usaha.

@Erik, @Arsha: Tulisan saya mungkin relevan untuk pilpres yang akan datang, tapi yang mau saya sentuh lebih luas dari itu. Pak Malik punya banyak nama di masyarakat dan bermanifestasi dalam banyak individu. Mari sama-sama mengedukasi masyarakat untuk sadar akan perlunya civil society dalam demokrasi di Indonesia.
comengtator said…
saya suka kata2 yg terakhir, gorenganya dah jadi, tapi saya setuju dgn karno, orang sok jago kalau d kasih kekuasaan waduh gk tau dah nantinya, untung calom pemimpin tertinggi kita gk da yg preman
Jed Revolutia said…
@comengtator, terima kasih komentarnya. Tulisan ini saya buat supaya semakin banyak yang menyadari kalau mau bangsa ini kuat, maka yang harus kuat itu rakyatnya, bukan pemimpinnya. Demokrasi itu bicara membangun civil society. Nasib sebuah bangsa tidaklah ditentukan oleh pemimpinnya, tapi oleh rakyat bangsa itu sendiri. Jadi kalau pemimpinnuya bertindak semena-mena layaknya preman, rakyat bisa menjatuhkannya.
kang cepot said…
Ga cuma dalam skala nasional, dalam skala kelurahan pun demikian adanya.
Hatur nuhun tulisannya, keren euy.
Pemerintah pembantu rakyat.
Anonymous said…
Pak RT saya dulunya preman, alhasil memang bobrok, ga peduli ama warga nya, mau urus yang berhubungan dengan RT ujung2 nya pakai duit....jdi pilihlah pimpinan yang merakyat :D
Anonymous said…
mendingan milih nunggu gorengan mateng dr pd nunggu burger jd, gorengan tu kecil tp mengenyangkan sedangkan burger tu uda gede tp kenyangnya cmn bntar...
Anonymous said…
kalau bukan dari sekarang kapan lagi?
Anonymous said…
Mudah-mudahan Rakyat Indonesia semakin pintar dalam menentukan pemimpin, Pencitraan, Obral Jani, Politik Uang tidak bisa lagi membeli suara rakyat..




Unknown said…
Wih panas, tapi gaya tulisannya bang jed bikin saya berfikir keras.. "This is not a freedom, This is Fear" ! :)
blogasni said…
Kereeen Jed! Keep it up. Teruslah menulis untuk Indonesia! :)
Unknown said…
pertanyaan saya untuk bang Jed, Rahman, Karno dan Bu Ega..
jenis gorengan yang tadi dibuat sama Bu Ega apa aja? apakah disana ada sambel kacang atau hanya cabe rawit sebagai pelengkapnya.. terima kasih :D
Unknown said…
keren , abissss !!
nee28 said…
bagus... intinya jangan milih yang preman... yang panasan... yang anarkis.. vandalis... yang pake acara ngepung ngepung ngerusak ngerusak... (mreka ini yang butuh direvolusi mental).... bener bener preman...