The Fish and The Nation (Part One)


“Give a man a fish; you have fed him for today.  Teach a man to fish; and you have fed him for a lifetime”—Author unknown

Kalian pasti pernah dengar peribahasa di atas dan setuju dengan pendapat tersebut. Gue juga selama bertahun-tahun meyakini peribahasa tersebut sebagai kebenaran dan menimbulkan keyakinan dalam diri gue kalau untuk memperbaiki masyarakat, yang paling dibutuhkan ialah pendidikan yang berkualitas. Ketika kita berhasil mengajari seseorang sebuah keahlian (skill) tertentu, maka dia bisa dengan mandiri menafkahi dirinya sendiri, tanpa perlu mengemis untuk dibantu oleh orang lain. Pemerintah harus memprioritaskan pendidikan sebagai cara untuk mengubah masyarakat ke arah yang lebih baik, kalau perlu menggratiskan pendidikan, sehingga anak-anak dari keluarga miskin bisa mengaksesnya dan mendapatkan masa depan yang lebih baik.

Kemarin gue tertantang dengan sebuah pertanyaan: "kalau tidak ada ikannya gimana?"

Kita mungkin berhasil mengajari 10 orang untuk memancing ikan, namun skill tersebut percuma saja jika tidak ada ikan yang bisa mereka pancing. Pada akhirnya mereka juga akan mati kelaparan.

Hal inilah yang membuat gue merevisi keyakinan gue sebelumnya, bahwa peran negara untuk menyejahterakan rakyatnya harus dimulai dan difokuskan pada menciptakan lapangan pekerjaan. Ketika ekosistem bernama pekerjaan tercipta, maka negara tinggal membuat sistem pendidikan yang disesuaikan dengan ekosistem yang telah terbangun. Dengan kata lain: tailored education.

Ketika di sebuah tempat tidak terdapat ikan, mungkin bukan pelajaran memancing yang dibutuhkan masyarakat, namun pelajaran berburu. Mungkin juga pelajaran untuk bercocok tanam atau mungkin pelajaran untuk berdagang dan berjual beli.

Hal ini membuat gue kembali mempertanyakan arah pembangunan negara ini, terutama di sektor pendidikan dan pekerjaan yang semakin tidak jelas saja semakin hari.

Negara kita sudah punya cukup banyak sekolah dan universitas, beberapa bahkan memiliki standar yang diakui secara internasional.

Negara kita juga punya cukup banyak tamatan perguruan tinggi, namun banyak dari antara mereka yang masih jadi pengangguran.

Artinya ada yang salah dengan ekosistem lapangan kerja dan sistem pendidikan yang terbangun selama ini.

Kalau kita mau jujur: lulusan sarjana kita tidak siap masuk ke dunia kerja.

Penyebabnya ialah: pendidikan yang teori sentris dan kurang dari segi praktikalitas.

Kemarin gue malah dapat info kalau Dirjen Dikti Kemendikbud membuat peraturan kalau mulai tahun ini untuk tamat sarjana, selain harus menulis skripsi, harus juga pernah memiliki karya ilmiah yang pernah diterbitkan sebuah jurnal. Bisa dibaca di sini.

Respons gue: Whaaaattttt????

FYI, dulu gue termasuk salah satu mahasiswa S1 yang rajin menulis karya ilmiah dan tulisan gue telah terbit dibeberapa jurnal.

Gue pikir fokus harus dibenarkan dulu. Mengapa orang Indonesia harus tamat S1? Karena itu adalah syarat untuk melamar dan mendapatkan pekerjaan kantoran yang kerjanya di belakang meja.

Universitas kita terlalu fokus dalam melatih akademisi dan bukan tenaga kerja. Tidak ada yang salah dengan menjadi akademisi, cuma baiknya fokus menjadi akademisi dibebankan pada mereka yang mau mengambil program S3.

Harusnya seperti ini:
  • Program S1 untuk mempersiapkan tenaga kerja siap kerja. 
  • Program S2 untuk mempersiapkan tenaga kerja profesi: guru, dokter, pengacara, dst.
  • Program S3 untuk mempersiapkan akademisi.
Dengan mewajibkan mahasiswa S1 menulis skripsi saja sudah adalah kelucuan yang dibuat oleh pemerintah Indonesia selama ini.

Akibatnya ialah tidak ada yang terdidik untuk siap memancing ikan, padahal ikannya juga jarang.

Tulisan gue yang selanjutnya akan membahas bagaimana menciptakan ekosistem ikan, sehingga banyak ikan yang bisa ditangkap oleh produk pendidikan kita. Nantikan.

Related posts:

Enter your email address:

Comments

arief maulana said…
Gw pikir jg gitu sob. Ga heran banyak S1 nganggur. Pada ga siap kerjA. Malah mending yg D3 tapi bekal kemampuan kerjNya ada.